UTILITARIANISME
“Utilitarisme “
berasal dari kata latin utilis yang berarti “ bermanfaat “. Menurut teori ini
suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus
menyangkut bukan saj satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Jadi, utilitarisme ini tidak boleh di mengerti dengan cara egoistik. Menurut
suatu perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran utilitarisme (utilitarianism)
kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest hainess of the greatest number,
kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Manfaat yang di maksudkan
utilitarisme bisa di hitung juga sama seperti kita menghitung untung dan rugi
atau kredit dan debet dalam konteks bisnis. Dan memang pernah ada penganut
utilitarisme yang mengusahakan perhitungan macam itu di bidang etika.
Utilitarisme
disebut lagi suatu teori teleologis (dari kata yunani telos = tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu
perbuatan di peroleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang
bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarisme tidak
pantas disebut baik. Utilitarisme dapat memberi tempat juga kepada pengertian “
kewajiban “ , tapi hanya dalam arti bahwa manusia harus menghasilkan kebaikan
dan bukan keburukan. Dalam perdebatan antara para etikawan, teori utilitarisme menemui
banyak kritik. Keberatan utama yang dikemukakan adalah bahwa utilitarisme tidak
berhasil menamung dalam teorinya dua aham etis yang amat penting, yaitu
keadilan dan hak.
Dengan
maksud mencari jalan keluar dari kesulitan terakhir ini, beberapa utilitas
telah mengusulkan untuk membedaka dua macam utilitarisme : utilitarisme perbuatan (act utilittaranisme), dan utilitarisme
aturan ( rule utilitarisme). Yang di
jelaskan di atas - mereka tegaskan – adalah utilitarisme perbuatan. Di situ
prisip dasar utilitarisme (manfaat terbesar bagi jumlah orang terbesar)
diterapkan pada perbuatan. Prinsip dasar itu di pakai untuk menilai kualitas moral
suatu perbuataan. Utilitarisme perbuatan ini – mereka akui – tidak luput dari
kesuliatan teoritis yang besar , bahkan menghancurkan. Namun demikian, dengan
itu utilitarisme sendiri belum hancur, karena di samping utilitarisme perbuatan
masing-masih ada kemungkinan lain : utilitarisme aturan. Prinsip dasar utilitarisme tidak
harus di terapkan atas perbuataan-perbuatan yang kita lakukan, melain atas
aturan-aturan moral yang kita terima bersama dalam masyarakat sebagai pegangan
bagi perilaku kita. Suatu aturan moral bisa diterima sebagai sah dan benar, jiak tahan uji terhadap
prinsip utilitaristis. Kita dapat menyimpulkan bahwa utilitarisme aturan
membatasi diri ada justifikasi aturan-aturan moral.
Sumber :
Budiono , gatut, L ., Etika,
jakarta, widya pustaka, 2008.
Bertens,K., Etika,Jakarta,Gramedia Pustaka Utama,
cetakan ke-4,1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar