" FINANCIAL WORLD FLOW "

Rabu, 31 Oktober 2012

Whistle blowing internal dan Whistle blowing eksternal


Whistle blowing
Dalam dunia bisnis kecurangan merupakan hal biasa, tetapi hal ini sangat merugikan perusahaan dan karyawan lain tentunya. Kecurangan seperti ini harus dicegah agar kerugian moral dan materil dapat dihindari. Cara pencegahannya dapt dilakukan dengan whistle blowing. Whistle blowing adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang karyawan untuk membocorkan kecurangan entah yang dilakukan oleh perusahaan atau atasannya kepada pihak lain. Pihak yang dilapori itu bisa saja atasan yang lebih tinggi atau masyarakat luas.
Ada dua macam whistle blowing :

a.  Whistle blowing internal
Hal ini terjadi ketika seorang atau beberapa orang karyawan tahu mengenai kecurangan yang dilakukan oleh karyawan lain atau kepala bagiannya kemudian melaporkan kecurangan itu kepada pimpinan perusahaan yang lebih tinggi. Motivasi utama dari whistle blowing adalah motivasi moral: demi mencegah kerugian bagi perusahaan tersebut
Motivasi moral ada dua macam motivasi moral baik dan motivasi moral buruk.
Untuk mencegah kekeliruan ini dan demi mengamankan posisi moralnya, karyawan pelapor perlu melakukan beberapa langkah:
     Cari peluang kemungkiann dan cara yang paling cocok tanpa menyinggung perasaan untuk menegur sesama karyawan atau atasan itu.
    Karyawan itu perlu mencari dan mengumpulkan data sebanyak mungkin sebagai pegangan konkret untuk menguatkan posisinya, kalau perlu disertai dengan saksi-saksi kuat. 

b.    Whistle blowing eksternal
    Menyangkut kasus dimana seorang pekerja mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaannnya lalu membocorkannya kepada masyarakat karena dia tahu bahwa kecurangan itu akan merugikan masyarakat.
      Misalnya; manipulasi kadar bahan mentah dalam formula sebuah produk.
      Motivasi utamanya adalah mencegah kerugian bagi masyarakat atau konsumen.
   Pekerja ini punya motivasi moral untuk membela kepentingan konsumen karena dia sadar semua konsumen adalah manusia yang sama dengan dirinya dan karena itu tidak boleh dirugikan hanya demi memperoleh keuntungan.
Sumber :
Velasquez, Manuel G. ETIKA BISNIS Konsep dan Kasus, Edisi 5, Penertbit Andi, Yogyakarta.

HAK ATAS KEBEBASAN SUARA HATI


HAK ATAS KEBEBASAN SUARA HATI       
Seorang pegawai, ketika melaksanakan suatu pekerjaan, mungkin menemukan bahwa perusahaan tempatnya bekerja melakukan sesuatu yang menurutnya merugikan masyarakat. Dan memang, individu-individu dalam perusahaan biasanya merupakan pihak pertama yang mengetahui bahwa, misalnya, perusahaan memasarkan produk-produk yang tidak aman, mencemari lingkungan, menyembunyikan informasi kesehatan, atau melanggar hukum.

Pegawai yang memiliki perasaan tanggung jawab moral, yang menemukan bahwa perusahaan melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat, biasanya akan merasa perlu melakukan sesuatu agar perusahaan menghentikan aktivitas-aktivitas yang merugikan tersebut dengan melaporkannya kepada atasan. Namun sayangnya, jika manajemen internal perusahaan tidak bersedia melakukan apa-apa sehubungan dengan laporan tersebut, maka pegawai hanya memiliki sedikit pilihan. Jika, setelah ditolak perusahaan, pegawai tersebut memiliki keberanian untuk membawa masalah itu ke lembaga pemerintah di luar perusahaan atau, yang lebih buruk lagi, menyebarkan masalah ini kepada publik, maka perusahaan memiliki hak yang sah untuk menghukumnya dengan cara memecatnya. Lebih jauh lagi, jika permasalahannya cukup serius, perusahaan bisa melakukan langkah-langkah untuk memperkuat hukuman dengan menambahkannya pada catatan kerja pegawai yang bersangkutan dan, dalam kasus-kasus ekstrem, berusaha memastikan agar dia tidak akan diterima bekerja oleh perusahaan-perusahaan lain dalam industri.

Sumber :
http://apriyantihusain.blogspot.com/2012/04/individu-dalam-organisasi.html
Velasquez, Manuel G. ETIKA BISNIS Konsep dan Kasus, Edisi 5, Penertbit Andi, Yogyakarta.

Jumat, 26 Oktober 2012

UTILITARIANISME


UTILITARIANISME
        “Utilitarisme “ berasal dari kata latin utilis yang berarti “ bermanfaat “. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saj satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi, utilitarisme ini tidak boleh di mengerti dengan cara egoistik. Menurut suatu perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran utilitarisme (utilitarianism) kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest hainess of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Manfaat yang di maksudkan utilitarisme bisa di hitung juga sama seperti kita menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis. Dan memang pernah ada penganut utilitarisme yang mengusahakan perhitungan macam itu di bidang etika.
         Utilitarisme disebut lagi suatu teori teleologis (dari kata yunani telos = tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan di peroleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik. Utilitarisme dapat memberi tempat juga kepada pengertian “ kewajiban “ , tapi hanya dalam arti bahwa manusia harus menghasilkan kebaikan dan bukan keburukan. Dalam perdebatan antara para etikawan, teori utilitarisme menemui banyak kritik. Keberatan utama yang dikemukakan adalah bahwa utilitarisme tidak berhasil menamung dalam teorinya dua aham etis yang amat penting, yaitu keadilan dan hak.
Dengan maksud mencari jalan keluar dari kesulitan terakhir ini, beberapa utilitas telah mengusulkan untuk membedaka dua macam utilitarisme : utilitarisme perbuatan (act utilittaranisme), dan utilitarisme aturan ( rule utilitarisme). Yang di jelaskan di atas - mereka tegaskan – adalah utilitarisme perbuatan. Di situ prisip dasar utilitarisme (manfaat terbesar bagi jumlah orang terbesar) diterapkan pada perbuatan. Prinsip dasar itu di pakai untuk menilai kualitas moral suatu perbuataan. Utilitarisme perbuatan ini – mereka akui – tidak luput dari kesuliatan teoritis yang besar , bahkan menghancurkan. Namun demikian, dengan itu utilitarisme sendiri belum hancur, karena di samping utilitarisme perbuatan masing-masih ada kemungkinan lain : utilitarisme aturan. Prinsip dasar utilitarisme tidak harus di terapkan atas perbuataan-perbuatan yang kita lakukan, melain atas aturan-aturan moral yang kita terima bersama dalam masyarakat sebagai pegangan bagi perilaku kita. Suatu aturan moral bisa diterima sebagai  sah dan benar, jiak tahan uji terhadap prinsip utilitaristis. Kita dapat menyimpulkan bahwa utilitarisme aturan membatasi diri ada justifikasi aturan-aturan moral.

Sumber :
Budiono , gatut, L ., Etika, jakarta, widya pustaka, 2008.
Bertens,K., Etika,Jakarta,Gramedia Pustaka Utama, cetakan ke-4,1999.

Sabtu, 13 Oktober 2012

ETIKA BISNIS (TUGAS SOFSKIL)



ETIKA BISNIS

A.    Pengertian Etika dan Bisnis
Etika adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana berperilaku jujur, benar dan adil. Etika merupakan cabang ilmu filsafat, mempelajari perilaku moral dan immoral, membuat pertimbangan matang yang patut di lakukan oleh seseorang kepada orang lain atau kelompok tertentu.
Bisnis hanya untuk bisnis adalah a moral. Bisnis bukan hanya untuk keuntungan bisnis semata. Richard T. De George mengatakan bahwa Business is not just for business but welfare, Bisnis di dasari oleh etika tinggi , jadi bisnis bukan hanya untuk kepentingan perolehan keuntungan melalui kegiatan bisnis semata melainkan melakukan bisnis.
            Etika bisnis adalah emikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan            bisnis.
Moralitas berarti asek baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan karenanya     diperolehkan atau tidak, dari perilaku manusia. Maoralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia, dan kegiatan ekonomis meruapakan suatu biadang perilaku manusia yang penting. Tidak mengherankan jika sejak dahulu kala etika menyoroti juga ekonomi dan bisnis. Tetapi, belum pernah etika bisnis mendapat begitu banyak perhatian seperti dalam zaman kita sekarang. Etika bisnis pun dapat di jalankan pada tiga taraf yaitu :
1.      Taraf Makro, etika bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi sebagai keseluruhan. Jadi, di sini masalah-masalah etika di soroti dalam skala besar. Misalnya masalah : bagaimana sebaiknya kekayaan di bumi ini di bagi dengan adil? Aspek-aspek etis dari kapitalisme : masalah keadilan sosial dalam suatu masyarakat, terutama berkaitan dengan kaum buruh: masalah utang negara-negara selatan terhadap negara-negara utara , dan sebagainya.
2.      Taraf Meso (madya atau menengah), etika bisnis menyelidiki masalah – masalah etis di bidang organisasi.
Organisasi di sini terutama berarti perusahaan, tapi bisa juga serikat buruh, lembaga konsumen, perhimpunan profesi, dan lain-lain.
3.      Taraf Mikro, yang di fokuskan ialah individu dalam hubungan dengan ekonomi atau bisnis. Disini di pelajari tanggung jawab etis dari karyawan dan majikan, bawahan dan manajer, produsen dan konsumen, pemasok, dan investor.
B.   Tujuan Etika Bisnis
Ada tiga tujuan Etika Bisnis yaitu :
1.      Menanamkan atau meningkatkan kesadaran akan adanya dimensi etis dalam bisnis.
2.      Memperkenalkan argumentasi meral, khususnya di bidang ekonomi dan bisnis, serta membantu pembisnis atau calon pembisnis dalam menyusu argumentasi moral yang tepat.
3.      Membantu pembisnis atau calon pembisnis untuk menentukan sikap moral yang tepat di dalam profesinya.
C.  PENERAPAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
1.      Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang “etis”. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi.
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
2.      Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
3.      Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
4.      Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan “katabelece” dari “koneksi” serta melakukan “kongkalikong” dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi” serta memberikan “komisi” kepada pihak yang terkait. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah .Untuk menciptakan kondisi bisnis yang “kondusif” harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.Menumbuh kembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah di sepakati.
disepakati .Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan .Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti “proteksi” terhadap pengusaha lemah.
D.    Sumber :
 http://id.wikipedia.org/wiki/Etika_bisnis
            Budiono , gatut, L ., Etika, jakarta, widya pustaka, 2008